My dark hour
This isnt the
movie review nor the sinopsis. This story is about mine not churchill dan ga ada hubungannya dengan Inggris.
Mungkin pas kamu googling yang muncul adalah sinopsis, review di imdb, quote
dan berbagai macam tulisan yang mengarah ke film tersebut.
Meskipun pada umumnya, cerita-cerita yang kita baca dan tonton, biasanya
berdasarkan atau menyerupai teori ini. Anyway this is
about one of my dark hour.
Photo by Cherry Laithang on Unsplash |
Teori “the darkest hour” adalah tahapan terakhir menjelang titik sukses,
seseorang biasanya akan menghadapi tantangan yang sangat sulit dan memposisikan
orang itu seakan – akan berada diujung tanduk.
Di
buku Merry Riana (Mimpi
sejuta dolar) , beliau pernah
menjelaskan tentang darkest hour-nya. Bagaimana dia merasakan putus asa karena
pada hari itu sama sekali belum mendapatkan client, berbeda dengan hari-hari
sebelumnya. Tapi di
penghujung hari pun dia mendapatkan kejutan luar biasa yang menurut saya sih, ga
terbayang endingnya akan seperti itu. Menurut saya, plot twist yang keren
banget dan
inspirasional. Bukunya
recommended, benar-benar membangkitkan semangat. Tell me your opinion if you
already read that book.
So here’s my story.
Mungkin ini yang bisa menggambarkan hari saya pada saat itu : patah hati
berkali-kali dalam setengah hari. Yap, setengah hari saja sudah hampir menyerah
saya. Gimana enggak, semua masalah
yang ada pada hari itu datang dari berbagai macam sisi dan pada berat berat pula. Dari masalah enggak punya duit, hampir putus, ekspektasi orangtua dan masalah
self-issue. Semuanya benar-benar makan energy dan makan hati.
Photo by Daria Litvinova on Unsplash |
Soo,
this start with, saya resign dari pekerjaan lama. Tempat kerja yang menempa
saya dari 0 (fresh graduate) sampai punya both hard skill dan soft skill. Maybe I’ll tell this in another post. Jadi, singkat
cerita, saya resign dan mengganggur selama kurang lebih 8 bulan. 8 bulan
tersebut bukanlah 8 bulan yang mudah. I was running out of money dan
benar-benar bergantung pada usaha mini nan pas-pasan (I’ll
tell this in another post as well). Selain itu, orangtua saya sangat dan
benar-benar berharap saya bisa bekerja di perbankan atau menjadi abdi Negara,
which is, I really was trying, tapi Tuhan bermaksud lain. That’s not where I
belong, I guess.
Oia,
selain itu, saya juga punya hutang di salah satu bank. Nilainya sih ga
gede-gede amat untuk saya sekarang (Puji Tuhan). Namun dalam saat itu, gosh, pengen nangis tiap hari ga ada
customer. Tanya pacar saya deh, seberapa banyak airmata dan kata-kata curhat
tentang kekhawatiran saya pada masa itu. Dan saya benar-benar ga mau bergantung
padanya. That was my responsibility, not him. Bukannya doi ga menawari, dia
bahkan sampai maksa buat saya terima
uang. Katanya, nanti saya ganti pas saya sudah dapat kerja baru. Which is, I
wasn’t quite sure about that, at that specific time. Dan kalau kamu beranggapan
saya adalah orang yang pesimis, yas, I was and kinda still am. Well, I really
am trying to change that.
Then,
my parents’ expectation. Saya udah ‘tebar
pesona’ di berbagai macam bank, you name it lah. Dari bank swasta sampai bumn.
Dari sebar cv sampai apply online. Kalo jobstreet bisa ngasih saya email balasan tiap kali saya login, doski pasti bilang
“sis, online shop aja ga setiap menit ada
barang baru, lu tiap menit nyari lowongan terus ih”. I was crying every
night, galau. Galau dengan masa depan yang kayaknya ga ada indah-indahnya nih
(waktu itu ya). Galau dengan masa lalu yang kayaknya enak kalo diingat-ingat.
Sampe lupa, untuk menikmati masa sekarang. Masa dimana benar-benar menempa saya
untuk belajar bersyukur untuk kesempatan sekecil apapun. Kalau dipikir-pikir,
masa-masa saya bisa nurunin berat badan dan hidup sehat adalah pas 8 bulan itu.
Saya
‘mencukupi’ diri dengan jualan make-up murah di rumah dan secara daring.
Bermodal handphone tua, saya pun jualan dan benar-benar bergantung sama hape
ini. Dan tiba-tiba dia sama sekali ga mau nyala. Penjualan saya pun sempat
terhenti. Gawat, how can I sell something online tanpa handphone. Panik? Ya
pasti ada. How I can pay my debt then? Puji Tuhan, pacar saya benar-benar baik.
He bought me phone. And he said that I can pay him back after I got my salary. So
I did, walaupun butuh waktu yang makan beberapa bulan hehe.
Untuk
mengatasi depresi, hampir setiap hari saya dengerin speech – nya Job Steve di
salah satu acara graduation Stanford Uni. Saya percaya aja, masa-masa sekarang
(8 bulan tersebut) somehow akan connect with future. Tapi beliau bilang, ada
syaratnya, kalo ga salah bunyinya gini “you have to believe your past will
somehow connect the dots. You must believe in something. Your God, karma, your
guts or whatsoever”. Dan saat itu saya yakin, Tuhan pasti sedang merencanakan
sesuatu yang indah. And yeas, I feel it right now. Indahnya percaya akan ada
akhir dari penantian kita. Just wait and see.
Saya
berpikir, 8 bulan itu pun seperti cara Tuhan untuk mengingatkan focus saya
seharusnya ada dimana. Elemen – elemen apa yang menciptakan saya sampai bisa
jadi kek sekarang. Tuhan menyetel waktu yang benar-benar pas untuk “Him,
family, people that matters and me time”. It was beautiful. Dan ga mudah untuk mencintai masa-masa sulit
kita, disaat kita dalam kesulitan. But looking back, it was the best experience
I ever had, until maybe the next one.
Dan
8 bulan itu akhirnya berujung di saat saya harus minta uang 2juta untuk bayar
tiket ke orangtua. 2juta untuk beberapa orang mungkin sedikit ya, tapi di saat
itu, nilai tersebut bisa memberangkatkan saya untuk interview dan makan
seadanya di bandara sudah berasa surga banget. Rasanya tengsin cin, udah gede
masih minta uang aja ke orangtua. Tapi itulah, cara Tuhan membuat saya belajar
untuk rendah hati dan melepaskan gengsi dan keangkuhan saya dahulu. Selain itu,
ada dilemma untuk menerima pekerjaan yang lain, yang sampe saat itu, belum ada
kabar kalau saya sudah bisa bekerja. Jadi long story short, saya tinggal di
telpon apakah saya diterima apa enggak nih, semua tes sudah saya ikutin.
Berbeda dengan tempat kerja saya sekarang. Masih ada 2 tes lagi yang harus saya
ikut. It was quite a gamble actually. But looking back, it was the best bet I
made.
Selain
itu, ada masalah personal antara saya dan pacar saya. Kami hampir putus, bisa
dikatakan break lah. Soalnya saya benar-benar udah merasakan dia udah bukan
siapa-siapa saya lagi. Dan itu terjadi sehari sebelum saya ditelpon untuk tanda
tangan kontrak. Drama? Iyass siss. Saat saya menunggu kabar baik, malah jadi
malas untuk megang handphone. Saat saya ngetik ini juga, airmata saya turun
siss, masih rasa sakit ya huhu.
Dan
akhirnya, telpon dari HR pun berbunyi. Singkat cerita, I got the job. Orangtua
saya adalah yang pertama tahu dan saya nangis saat bilang, “Ma, pa, besok harus
berangkat lagi ke Bekasi buat training”. Saat itu juga hati saya terasa plong
bangeeeet. Kayak menang ranked di mobile legend dan dapat predikat epic (epic
aja dulu, ga muluk2 siss, hehe). Papa saya pun bingung kenapa sampai saya
nangis. Beliau kira saya ga suka kerjaanya. Tapi saya jelaskan kalau saya
nangis karena akhirnya saya bisa mengatakan sesuatu kabar bahagia yang
ditunggu-tunggu selama 8 bulan.
Photo by Mad House on Unsplash |
Inti
dari cerita saya ini adalah jangan cepat pesimis dan jangan cepat menyerah.
Saya sadar, ada orang-orang di luar sana yang butuh waktu lebih lama dari saya.
Saya termasuk beruntung. Namun saya sangat salut dengan orang-orang yang sabar
dan tahan akan ujian yang melebihi waktu 8 bulan saya. Ujian tiap orang menurut
saya pasti berbeda-beda. Dan saya belajar untuk mengucap syukur dan tidak
menyia-nyiakan apa yang Tuhan sudah berikan. Never take your life for granted.
Sabar, itu kunci utama dari pengalaman saya ini. Sabar
terhadap segala ujian. Sabar saat tersandung masalah. Dan pastinya sabar dan
menguatkan diri sendiri. Kita ga bakal tahu, sudah sedekat apa kita dengan
cita-cita kita kalau kita tidak mencoba untuk maju selangkah lagi.