Citra
Citra adalah seorang gadis biasa, itulah yang dia pikirkan tentang dirinya sendiri. Ia mempunyai orangtua yang mampu membelikan kebutuhannya, tapi bukan kemauannnya. Dia ingin sekolah di sekolah yang terkenal dengan biaya yang diatas dari sekolah lainnya, ayahnya mengiyakan tapi tidak keinginannya untuk mengendarai mobil untuk bolak-balik sekolah. Dia dibelikan handphone oleh ibunya untuk berkomunikasi dengan teman-temannya sehabis pulang sekolah, tapi bukan handphone mahal seperti teman-temannya. Dia ingin kuliah setelah lulus SMA, kedua orangtuanya sangat mendukungnya tentang itu, tapi bukan berarti ia mendapatkan kenaikan uang jajan.
Tidak jarang ia memberontak meminta lebih kepada orangtuanya. Ia selalu merasa kurang dari teman-temannya. Dan setiap hari ia selalu berdoa pada Tuhan, ia ingin menjadi orang kaya yang bisa membeli segalanya. Ia mengeluh kepada Tuhan kepada diberi orangtua yang pas-pasan, yang tak bisa memberi segalanya untuknya. Ia menceritakan tentang rasa cemburu kepada Tuhan tentang orang-orang sekitarnya yang memiliki lebih dari dirinya. Tak jarang ia mengatakan bahwa Tuhan tak adil, memberikan lebih pada orang-orang itu sedangkan dia sendiri selalu merasakan kekurangan.
Ia harus menabung untuk mendapatkan baju yang diincarnya, sedangkan teman-temannya tidak perlu untuk merengek dan meminta pada orangtua mereka. Ia harus rela meminjam barang pada teman se-kosnya, sedangkan teman-temannya tidak perlu berpikir panjang untuk merogoh kocek demi sesuatu. Ia harus pintar-pintar membeli barang jika tidak ingin kehabisan uang, sedangkan teman-temannya tinggal mengeluarkan kartu kredit mereka. “ini bukan keadilan Tuhan”, katanya selalu tiap kali ia harus menelan ludah meilhat sifat boros teman-temannya.
Ia pun termotivasi untuk belajar lebih giat agar diterima diperusahaan ternama dengan posisi yang memberikannya gaji yang sangat tinggi. Ia ingin mewujudkan keinginannya yang dari kecil tidak dapat dipernuhi orangtuanya, yaitu menjadi kaya dan berfoya-foya. Seakan-akan merasa cukup tidaklah “cukup” bagi dirinya. Ia kurang merasa bersyukur tentang berkat-berkat yang diterimanya. Ia selalu berdoa pada Tuhan tentang keluhan-keluahannya. Mengapa orang kaya sangat gampang mengurus masuk universitas, mengapa orang kaya dapat nilai tinggi padahal tugas pun tak pernah dibuatnya, mengapa orang kaya dapat lulus cepat, dan hal-hal lain yang ia rasakan tidak adil dengan keberadaanya.
Singkat cerita, ia pun kini bisa membeli apapun yang ia inginkan. Rumah besar, mobil mewah, handphone mahal, baju-baju bermerek, dan segala yang tak bisa ia beli saat ia merasa “selalu kekurangan”. Namun bukan seorang Citra jika hidupnya tak pernah cemburu akan orang lain. Bukan Citra jika tak mengeluh pada Tuhan. Bukan Citra jika ia tak merasa kekurangan aka hidupnya. Kini ia merasa saat ia kaya dan dapat membeli apapun yang dia inginkan, ia merasakan sesuatu yang kosong. Sesuatu yang tak pernah akan ada jika ia selalu mewarnai hidupnya dengan keluhan dan cemburu. Ia merasakan semuanya hampir sempurna, namun ada sesuatu yang tak bisa dimilikinya dengan kekayaannya.
Suatu sore, ia berlari-lari kecil dengan stiletto high heelsnya, menuju pelataran rumah besarnya. Ia membuka pintu dan disambut dengan sapaan selamat sore para pembantunya. Dan kemudian ia tersadar, bahwa ia menemukan sesuatu yang membuatnya merasakan kekosongan yang benar-benar tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia berdiri mematung tanpa gerakan yang berarti. Para pembantunya bingung dengan kelakuan majikannya. Citra pun bergerak, berjalan pelan-pelan menuju kamarnya.
Seorang gadis sekitaran berumur 13-14 tahun mengetuk pintu kamar yang di cat putih dengan detail ungu pada ukirannya. Dengan ketukannya, si gadis berkata “makan malam mbak udah siap”. Tapi tak ada sahutan. Ia pun mengetuk untuk kedua kalinya. Dengan lebih keras ia mengulang kalimat “makan malam udah siap mbak”. Berbeda dengan kali ini. Seorang gadis yang berusia 29 tahun dengan segala kelelahan dan kebingungan yang mengukir wajahnya membuka pintu itu. Ya, itu Citra, pemeran utama dalam cerita ini. Citra memandang gadis belia itu dalam-dalam. Kemudian ia bertanya dengan suara seraknya, sepertiny baru selesai menangis tersedu-sedu, “siapa kamu?”. “aku Putri mbak, anaknya mbok Marina, itu loh mbak, yang masak didapur”, balas si gadis belia ini. Ingatan masa lalu Citra kembali dalam pikirannya. Ia teringat saat ia masih belia seperti Putri, saat ia tak bisa berteman lagi dengan orang-orang yang sama lagi, dengan alasan Citra tak punya handphone mahal dan belum pernah ke salon. “Apakah kamu tidak malu dengan pekerjaan orangtuamu?” Tanya Citra ulang. “Mengapa harus malu mbak? Yang penting mama saya bukan pencuri dan ayah saya bukan perampok. Apapun yang teman-teman olok-olok tentang saya, saya percaya, saya bisa lebih mandiri dari mereka”. Dengan polosnya, Putri tetap menjelaskan pendapatnya, “yang penting saya mendapatkan kasih dari orangtua saya yang tak akan pernah lekang oleh waktu dan cinta yang besar dari Yesus, saya rasa saya sudah lebih dari cukup untuk hidup dengan rasa syukur”.
Citra pun menyambar kunci mobil mewahnya dan segera mengendarainya tanpa berkata apa-apa pada para pembantunya. Ia hanya mengucapkan “terima kasih” pada Putri dan berlari ke garasi rumah besarnya. Saat ia membuka pintu rumahnya pada sore itu, ia teringat akan ibunya yang selalu menyambutnya tiap kali ia pulang rumah saat ia belum membei rumah sendiri dan meninggalkan orangtuanya. Ia masuk ke kamarnya dan menangis tersedu-sedu, menyesali perbuatannya pada orangtuanya. Ia selalu mengeluh kepada orangtuanya mengapa ia tak bisa membeli apa yang diinginkannya. Ia membentak kedua orangtuanya yang memarahinya ketika ia tak mendapatkan kemauannya. Dengan kebingungan dan penyesalannya, ia berlutut, menutup kedua mata bengkaknya dan berdoa “maafkan aku, Bapa”. “berikan aku pertanda agar aku bisa menelan rasa gengsiku untuk meminta pengampunan kepada kedua orangtuaku,Bapa”. Saat itulah ia mendengar teriakan seorang gadis belia yang mengatakan kalau makan malamnya sudah siap.
Ia pun tiba di halaman sebuah rumah kayu tua. Dengan yakin ia mengetuk pintu. Seorang wanita setengah baya pun menyambutnya. Dengan segera kedua perempuan itu berpelukan. Mengusir kerinduan diantara mereka berdua. Terpisah karena rasa ketidakpuasan dan ambisi. Kini disatukan dengan syukur dan pertobatan. Kemudian seorang laki-laki tua tergopoh-gopoh keluar dan bertanya “kau sudah pulang, anakku?”. “mari makan, kau pasti tidak pernah kenyang dengan badanmu yang kurus kerontang itu,iya kan?”. “kau pasti lelah dari kantor, belum sempat mandi kan?”. “kau tahu, ayah selalu berdoa akan datangnya malam ini.”
Tujuan hidupnya untuk menjadi kaya membuat Citra rela meninggalkan orangtuanya. Dulunya ia percaya bahwa ia memang diciptaka Tuhan hanya untuk menjadi kaya. Ya, memang ia berlimpah harta namun tidak dengan rohaninya. Tuhan mencipatkan kita dengan tujuan masing-masing. Bukan tidak mungkin, tujuan hidup Citra adalah menolong orang-orang yang kurang beruntung dari dirinya. Rasa ketidakpuasan membuat kita kurang bersyukur dengan apa yang telah disediakan Tuhan bagi kita. Sehingga tujuan yang Tuhan ciptakan bagi kita makin kabur dan lebih jauh dari kehidupan kita karena kita sendiri yang membuatnya demikian. Citra hanya satu dari banyak pribadi yang merasakan kekosongan setelah berada pada tujuan hidup yang diciptakannya sendiri. Apakah maksud dan tujuan Tuhan dalam kehidupan kita masing-masing? Marilah kita selidiki dengan rasa syukur dan penyerahan total kepada Tuhan. Kiranya Tuhan makin memperjelas tujuannya dalam hidup masing-masing kita.
ZKA^__________^
Tidak jarang ia memberontak meminta lebih kepada orangtuanya. Ia selalu merasa kurang dari teman-temannya. Dan setiap hari ia selalu berdoa pada Tuhan, ia ingin menjadi orang kaya yang bisa membeli segalanya. Ia mengeluh kepada Tuhan kepada diberi orangtua yang pas-pasan, yang tak bisa memberi segalanya untuknya. Ia menceritakan tentang rasa cemburu kepada Tuhan tentang orang-orang sekitarnya yang memiliki lebih dari dirinya. Tak jarang ia mengatakan bahwa Tuhan tak adil, memberikan lebih pada orang-orang itu sedangkan dia sendiri selalu merasakan kekurangan.
Ia harus menabung untuk mendapatkan baju yang diincarnya, sedangkan teman-temannya tidak perlu untuk merengek dan meminta pada orangtua mereka. Ia harus rela meminjam barang pada teman se-kosnya, sedangkan teman-temannya tidak perlu berpikir panjang untuk merogoh kocek demi sesuatu. Ia harus pintar-pintar membeli barang jika tidak ingin kehabisan uang, sedangkan teman-temannya tinggal mengeluarkan kartu kredit mereka. “ini bukan keadilan Tuhan”, katanya selalu tiap kali ia harus menelan ludah meilhat sifat boros teman-temannya.
Ia pun termotivasi untuk belajar lebih giat agar diterima diperusahaan ternama dengan posisi yang memberikannya gaji yang sangat tinggi. Ia ingin mewujudkan keinginannya yang dari kecil tidak dapat dipernuhi orangtuanya, yaitu menjadi kaya dan berfoya-foya. Seakan-akan merasa cukup tidaklah “cukup” bagi dirinya. Ia kurang merasa bersyukur tentang berkat-berkat yang diterimanya. Ia selalu berdoa pada Tuhan tentang keluhan-keluahannya. Mengapa orang kaya sangat gampang mengurus masuk universitas, mengapa orang kaya dapat nilai tinggi padahal tugas pun tak pernah dibuatnya, mengapa orang kaya dapat lulus cepat, dan hal-hal lain yang ia rasakan tidak adil dengan keberadaanya.
Singkat cerita, ia pun kini bisa membeli apapun yang ia inginkan. Rumah besar, mobil mewah, handphone mahal, baju-baju bermerek, dan segala yang tak bisa ia beli saat ia merasa “selalu kekurangan”. Namun bukan seorang Citra jika hidupnya tak pernah cemburu akan orang lain. Bukan Citra jika tak mengeluh pada Tuhan. Bukan Citra jika ia tak merasa kekurangan aka hidupnya. Kini ia merasa saat ia kaya dan dapat membeli apapun yang dia inginkan, ia merasakan sesuatu yang kosong. Sesuatu yang tak pernah akan ada jika ia selalu mewarnai hidupnya dengan keluhan dan cemburu. Ia merasakan semuanya hampir sempurna, namun ada sesuatu yang tak bisa dimilikinya dengan kekayaannya.
Suatu sore, ia berlari-lari kecil dengan stiletto high heelsnya, menuju pelataran rumah besarnya. Ia membuka pintu dan disambut dengan sapaan selamat sore para pembantunya. Dan kemudian ia tersadar, bahwa ia menemukan sesuatu yang membuatnya merasakan kekosongan yang benar-benar tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia berdiri mematung tanpa gerakan yang berarti. Para pembantunya bingung dengan kelakuan majikannya. Citra pun bergerak, berjalan pelan-pelan menuju kamarnya.
Seorang gadis sekitaran berumur 13-14 tahun mengetuk pintu kamar yang di cat putih dengan detail ungu pada ukirannya. Dengan ketukannya, si gadis berkata “makan malam mbak udah siap”. Tapi tak ada sahutan. Ia pun mengetuk untuk kedua kalinya. Dengan lebih keras ia mengulang kalimat “makan malam udah siap mbak”. Berbeda dengan kali ini. Seorang gadis yang berusia 29 tahun dengan segala kelelahan dan kebingungan yang mengukir wajahnya membuka pintu itu. Ya, itu Citra, pemeran utama dalam cerita ini. Citra memandang gadis belia itu dalam-dalam. Kemudian ia bertanya dengan suara seraknya, sepertiny baru selesai menangis tersedu-sedu, “siapa kamu?”. “aku Putri mbak, anaknya mbok Marina, itu loh mbak, yang masak didapur”, balas si gadis belia ini. Ingatan masa lalu Citra kembali dalam pikirannya. Ia teringat saat ia masih belia seperti Putri, saat ia tak bisa berteman lagi dengan orang-orang yang sama lagi, dengan alasan Citra tak punya handphone mahal dan belum pernah ke salon. “Apakah kamu tidak malu dengan pekerjaan orangtuamu?” Tanya Citra ulang. “Mengapa harus malu mbak? Yang penting mama saya bukan pencuri dan ayah saya bukan perampok. Apapun yang teman-teman olok-olok tentang saya, saya percaya, saya bisa lebih mandiri dari mereka”. Dengan polosnya, Putri tetap menjelaskan pendapatnya, “yang penting saya mendapatkan kasih dari orangtua saya yang tak akan pernah lekang oleh waktu dan cinta yang besar dari Yesus, saya rasa saya sudah lebih dari cukup untuk hidup dengan rasa syukur”.
Citra pun menyambar kunci mobil mewahnya dan segera mengendarainya tanpa berkata apa-apa pada para pembantunya. Ia hanya mengucapkan “terima kasih” pada Putri dan berlari ke garasi rumah besarnya. Saat ia membuka pintu rumahnya pada sore itu, ia teringat akan ibunya yang selalu menyambutnya tiap kali ia pulang rumah saat ia belum membei rumah sendiri dan meninggalkan orangtuanya. Ia masuk ke kamarnya dan menangis tersedu-sedu, menyesali perbuatannya pada orangtuanya. Ia selalu mengeluh kepada orangtuanya mengapa ia tak bisa membeli apa yang diinginkannya. Ia membentak kedua orangtuanya yang memarahinya ketika ia tak mendapatkan kemauannya. Dengan kebingungan dan penyesalannya, ia berlutut, menutup kedua mata bengkaknya dan berdoa “maafkan aku, Bapa”. “berikan aku pertanda agar aku bisa menelan rasa gengsiku untuk meminta pengampunan kepada kedua orangtuaku,Bapa”. Saat itulah ia mendengar teriakan seorang gadis belia yang mengatakan kalau makan malamnya sudah siap.
Ia pun tiba di halaman sebuah rumah kayu tua. Dengan yakin ia mengetuk pintu. Seorang wanita setengah baya pun menyambutnya. Dengan segera kedua perempuan itu berpelukan. Mengusir kerinduan diantara mereka berdua. Terpisah karena rasa ketidakpuasan dan ambisi. Kini disatukan dengan syukur dan pertobatan. Kemudian seorang laki-laki tua tergopoh-gopoh keluar dan bertanya “kau sudah pulang, anakku?”. “mari makan, kau pasti tidak pernah kenyang dengan badanmu yang kurus kerontang itu,iya kan?”. “kau pasti lelah dari kantor, belum sempat mandi kan?”. “kau tahu, ayah selalu berdoa akan datangnya malam ini.”
Tujuan hidupnya untuk menjadi kaya membuat Citra rela meninggalkan orangtuanya. Dulunya ia percaya bahwa ia memang diciptaka Tuhan hanya untuk menjadi kaya. Ya, memang ia berlimpah harta namun tidak dengan rohaninya. Tuhan mencipatkan kita dengan tujuan masing-masing. Bukan tidak mungkin, tujuan hidup Citra adalah menolong orang-orang yang kurang beruntung dari dirinya. Rasa ketidakpuasan membuat kita kurang bersyukur dengan apa yang telah disediakan Tuhan bagi kita. Sehingga tujuan yang Tuhan ciptakan bagi kita makin kabur dan lebih jauh dari kehidupan kita karena kita sendiri yang membuatnya demikian. Citra hanya satu dari banyak pribadi yang merasakan kekosongan setelah berada pada tujuan hidup yang diciptakannya sendiri. Apakah maksud dan tujuan Tuhan dalam kehidupan kita masing-masing? Marilah kita selidiki dengan rasa syukur dan penyerahan total kepada Tuhan. Kiranya Tuhan makin memperjelas tujuannya dalam hidup masing-masing kita.
ZKA^__________^
1 comments:
nice one....
REPLY